Tendangan
bola itu meleset jauh dari gawang. Kelihatannya , ketiga bocah tersebut bermain secara asal-asalan, sesekali terdengar
tawa dan Guyonan. Mereka bermain dengan
ceria layaknya anak seusia mereka yang
berumur belasan tahun. Meskipun lokasi itu bukanlah lapangan bola kaki.
Kamis, 31 Oktober 2013
Minggu, 27 Oktober 2013
TUGAS CIBER SAAN
1 NAMA :SAAN
NIM :11143102034
Dalam ruang ciber proses komunikasi
verbal terjadi dalam bentuk tanda baca di barengi berupa
tulisan yang digunakan untuk mengekspresikan emosional didalam teks ruang
siber. Bahasa verbal diruang siber lebih
mengarah pengungkapan rasa melalui sebuah tulisan. Bedanya dengan alam
sebenarnya yakni dalam bentuk penyampai kata-kata, didalam alam sebenarnya bahasa verbal disampaikan melalui
lisan sedangkan diruang siber mengunakan kata-kata berupa tulisan sebagai
medianya. Jadi menurut saya simbol komunikasi yang di gunakan di ruang ciber
lebih ke simbol tulisan atau tanda baca.
sejenak bersama Ulil
Tepat pada hari minggu siang tanggal 20 oktober 2013, aku mendapatkan kabar bahwa Ulil Abshar Abdalla datang ke UIN Suska
Riau. Sebelumnya, saya tidak mengenal sosok Ulil. Memang nama “Ulil” sering saya dengar bahkan ,tak
asing bagi telinga saya. Dulu saya pikir Ulil merupakan nama selebriti.
“Ulil datang datang...Ulil datang, ke UIN “ hampir hal senada saya dengar dari orang yang
saya temui sore itu di sekitar Pusat
Kegiatan Mahasiswa (UIN) Suska Riau. Mendengar nama Ulil sering di sebut oleh
banyak orang, tentu sebagai Aktifis Pers saya memiliki rasa ingin tahu
sekaligus saya ingin meliput kedatangannya.
Filosofi “sambal belacan” dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Kata “Belacan” bukanlah hal yang baru bagi masyarakat
Melayu. Belacan merupakan kata yang cukup familiar di tanah melayu ini,
khusunya Riau dan Kepri. Mungkin , sejarah tidak pernah menulis siapa orang
yang pertama menggunakan kata ini.
AKU TAK SETEGA ITU
“Terkadang dalam hidup ini kita
sering mengukur orang yang ada di lingkungan kita menggunakan kaca mata pribadi. Sehingga dalam kehidupan sosial yang
ada di masyarakat sering terjadi miskomunikasi . Ketidak sepahaman apa yang di rasakan kita
dengan apa yang sedang dirasakan orang lain. Dan apa yang ingin di sampaikan
orang orang lain tidak sepenuhnya kita pahami dengan baik. Dan lebih bahaya
nya, kita tidak pernah mau tahu hal apa yang
terjadi sebenarnya pada orang lain secara utuh. Sehingga kita membuat
kesimpulan secara instan tanpa
pengetahuan yang memadai terhadap orang lain “
Di
suatu siang yang cerah. Mentari bersinar dengan
dengan angkuhnya . Sehingga siang itu cuaca terasa panas. Saat itu jam
dinding yang ada di rumah makan padang itu menunjukkan pukul 01:00 siang. Hampir Seluruh meja yang ada di dalam ruangan
ini penuh dengan manusia yang ingin makan. Setelah memesan 1 piring nasi budi
pun segera duduk . Beberapa menit kemudian pesanan nasi pun datang. Siang itu ,
dia makan sendirian tidak seperti hari hari yang telah lewat. Biasanya setiap
kali makan siang dia selalu bersama kawan kosnya, andi.
Aku “Di tolak” sang nenek
Tendangan
bola itu meleset jauh dari gawang. Kelihatannya , ketiga bocah tersebut bermain secara asal-asalan, sesekali terdengar
tawa dan Guyonan. Mereka bermain dengan
ceria layaknya anak seusia mereka yang
berumur belasan tahun. Meskipun lokasi itu bukanlah lapangan bola kaki.
POLITIK INDONESIA “HARI INI”
“Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilu
kada) menuju Riau1 putaran kedua. Calon Gubernur (Cagub) dan Wakil gubernur
(Wagub) berlomba-lomba melakukan kampanye. Tapi ada satu tradisi yang tak bisa
di tinggalkan dalam pesta demokrasi ini.
Tradisi ini dalam bentuk baliho dan sepanduk yang memuat foto-foto
narsis cagub dan wagub tersebu, di
pasang di pingir jalan......”
Hampir di setiap ruas jalan yang ada kabupaten dan kota di provinsi ini. Terpampang
foto –foto narsis calon cubernur dan wakil gubernur untuk menuJu Riau 1. Dengan Senyum “nakal” penuh arti. Foto-foto
tersebut menyapa setiap pengguna yang melintas di jalan itu. Sepintas foto-foto
calon gubernur ini bagaikan artis jalanan. Yang menjamur menjelang pemilukada. Dengan “secuil”
selogan mereka obral janji kepada masyarakat
dinegri ini. Mungkin ini sudah tradisi
politikus terdahulu..! Yang terus diwarisi dari generasi kegenerasi politiknya
.
Entah sampai kapanlah
tabiat-tabiat politik semacam ini berakhir...?.
Miliyaran rupiah habis
terkuras untuk hal seremeh temeh ini. Pada hal, disetiap pelosok negri ini
masyarakat antrian. Hanya untuk mengambil BLSM. Berapa banyak anak anak yang
tinggal di pelosok negri ini tak mengenyam pendidikan. Ada jutaan masyarakat
miskin tak memiliki rumah layak huni. Ini menandakan angka kemiskinan di riau
masih tinggi. Menurut data dari badan pusat statistik jumlah penduduk miskin di
Riau pada maret 2013 ada sekitar 469,28
ribu jiwa (7,72 persen dari jumlah penduduk yang terdaftar ).
Apakah politikus – politikus
tersebut tak “berpikir”..?. Jika seandainya Duit –duit untuk biaya spanduk dan
sejenisnya itu mereka sumbangkan. Untuk kepentingan dan kemaslahatan umat .
Itu jauh lebih produktif dan bermanfaat. Tapi
tak ada nampaknya politikus yang perfikir seperti ini. Alasan nya apa..? Bisa
kita tebak. Katanya,dia ingin mensosialisasikan diri sebagai cagub dan wagub di
negri ini. Mungkin jawaban senada akan kita temukan . Bila kita tanya
mereka satu persatu. Jika mereka tidak melakukan hal seperti ini mereka takut
tak dikenal masyarakat.
Mungkin politikus di negri
ini masih berpegang pada pepatah lama. “ Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Tak cinta maka
dapat suara ,”.
Kalau pola pikir mereka
seperti ini. Mereka tak layak di jadikan contoh pemimpin yang baik. Karna yang
mereka pikirkan diri sendiri dan kepentingan kelompok. Belum lagi duduk jadi
pejabat, pikirannya sudah tidak mencerminkan seorang pemimpin yang baik.
Mungkin inilah yang di maksud sifat “Individualis modren terdidik”.
Seharusnya, seorang pemimpin
yang baik. Berpikir untuk kemaslahatan umat. Jauh dari berpikir licik apalagi
untuk kepentingan diri sendiri. Mungkin
, memang betul. Jika mereka tak membuat sepanduk mereka tak, di kenal , dengan
baik . Ada banyak cara untuk dikenal oleh masyarakat luas. Entah itu, belesukan
ala jokowi. Atau hal lain yang lebih
kreatif. Seharusnya seorang pemimpin
itu. Orang nya dituntut untuk lebih kreatif dan cerdas.
Kreatif dalam
mensosialisasikan diri. Dan cerdas dalam mengunakan anggaran kampanye. Sehingga
dana untuk kampanye bisa di tekan. Namun bukan berarti mereka tidak boleh membuat sepanduk ,baliho
dan sejenisnya. Tentu boleh...! . Dan itu hak mereka..!! . Ada baiknya sepanduk –sepanduk dan sejenisnya
itu di buat dalam kapasitas yang wajar.
Namun nyatanya apa. Sepanduk –sepanduk tersebut di buat dalam jumlah
yang “bejibun”. Selain itu , sepanduk
sepanduk tersebut di pasang sesuka hati.
Tak jarang kita melihat
malah mengganggu keindahan kota . Setelah selesai kampanye . Sepanduk yang di
buat dengan anggaran milyaran rupiah tersebut. Tak lagi ada artinya, tak lebih dari seonggok
sampah kotor . Yang merugikan masyarakat . Bahkan , bisa berdampak negatif.
Jika sudah lapuk di makan usia, apabila sepanduknya tidak di tertibkan oleh
pihak yang berwenang.
Maka dapat di pastikan
sepanduknya akan berterbangan kemana mana di terpa angin. Ada yang pergi ke Got, selokan, paret dan sebagainya. Nah,
Nanti waktu musim penghujan. Sampah sampah sisa spanduk yang hari ini masih
berdiri kokoh. Tak tertutup kemungkinan
akan menyumbat selokan , got dan
sebagainya.
Akibat nya apa...?
Timbul banjir , penyakit
menular. Yang di rugikan kita masyarakat kecil. Malah hal yang lebih
menyedihkan moment semacam ini di manfaatkan lagi. Oleh politikus politikus busuk untuk
pencitraan mereka. Makanya, hari ini yang kita butuhkan pemimpin yang berpikir
kedepan untuk kesejahtraan masyarakat.
Tapi tak banyak pemimpin
yang kreatif ,cerdas dan tercerahkan
yang mampu berpikir seperti ini. Yang ada hanya pemimpin “cerdas” yang tak
tercerahkan . Mereka Cerdas untuk mencari dana kempanye sebanyak banyak
nya. Sehingga apa yang terjadi.
Rata-rata dana kempanye membengkak di setiap pemilu.
Ada banyak aliran dana yang di pertanyakan. Sehingga
besar kemungkinan. Masuklah “saham”
sponsor seperti perusahaan ini dan perusahaan itu. Ada banyak transaksi dan jual beli politik
disana . Akibatnya apa..? jika sudah
naik jadi gubernur dan wagub. Mereka ,
para politikus tesebut “berhutang” budi pada perusahaan / sponsor tersebut.
Sebagai “politikus yang baik”. Yang namanya “hutang” harus di bayar.
Akibatnya apa..?.
Tak jarang sponsor- sponsor
yang dulu telah memberi bantuan dana. Mereka minta fasilitas ,bukan hanya satu
macam. Tapi, mereka sudah minta fasilitas yang macam –macam.
Belum lagi tuntutan dari
kendaraan politiknya. Partai politikYang
dulu telah mengusung mereka sekarang pun minta jatah.
Akibatnya apa..?.
Lagi-lagi, Hak masyarakat diabaikan. Jika
mereka naik jadi gubernur dan wagub.
Mereka tak ubah bagaikan sebuah
boneka. Yang mudah di permain oleh si pemiliknya. Pemiliknya tentu, mereka
mereka yang telah menanamkan saham saham
politiknya .
Sehingga sudah semakin jelas . Suara masyarakat kecil yang yang dulunya mereka agung agungkan, Pada saat
kempanye. Kini tak lagi berarti . Dan tak layak untuk di dengar. Karena, mereka dulu telah dapat nasi bungkus dan duit lima puluh ribu. Itulah
hak yang pantas diterima untuk mereka yang sudah menggadaikan hak politiknya.
Namun, bagaimana dengan kami masyarakat lugu. masyarakat yang tak
paham politik. Kami memilih pemimpin kami karena hati nurani kami . Mereka telah bersumpah atas nama tuhan di
depan kami. Mereka berjanji akan
memperjuangkan hak kami yang tertindas selama ini. Namun, itu hanya sebuah
retorika yang mengalir dari lidah-lidah mereka.
Janji-janjinya, bagaikan sebuah air terjun
yang dapat membuat ribuan pasangan mata yang melihat takjub. Dan
ribuan pasangan telinga yang mendengar percikan gemuruhnya kagum. Tapi itu hanya , sebuah janji , Tanpa
realisasi dan aksi nyata. Sekarang, kami sebagai masyarakat kecil sudah tahu akan hal itu.
Mungkin, Selama ini malaikat malaikat
yang ada di langit sana geram . Dengan ulah dan tingkah mereka yang suka
mengobral janji.
Sebagai masyarakat kecil tak banyak yang
dapat kami perbuat. Hanya bisa
memanjatkan do’a kepada sang khalik . “ OH.. Tuhan lahirkanlah dari negri kami
pemimpin pemimpin yang sayang dan cinta
kepada kami , Dan takut kepada mu,” . Amiin..
peulis
Saan
BERSANDAR DITUMPUKKAN KORAN
Hari masih gelap, saat itu jalan Raya masih sunyi dari hiruk pikuk kendaraan bermotor. Biasanya, sebentar lagi jalan Raya akan dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Entah itu, orang yang mau pergi kekantor untuk bekerja atau ibu ibu yang mau kepasar hanya untuk sekedar belanja kebutuhan keluarga mereka.
Sesekali, biasanya ada kendaraan bermotor yang dikendarai oleh masyarakat ia temui. Tapi biasanya yang sering ditemui hanya pedagang yang mau kepasar, atau pemilik rumah makan yang ingin berbelanja rempah rempah dan kebutuhan lain yang diperlukan.Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang wajib dilakukan oleh pasangan suami istri setengah baya ini.
...
Diatas meja yang berukuran tak lebih dari satu kali satu meter, terdapat tumpukan media cetak yang ada di Riau. Ada Tribun, Riau pos, Koran Riau yang ditumpuk secara teratur. Diantara tumpukan media cetak tersebut tumpukan tribun terlihat lebih tebal dibandingkan tumpukan media cetak lainnya. Meja tersebut disampul dengan sepanduk bekas berwarna putih , agar terlihat lebih rapi. Disekeliling meja ada kursi yang dibuat dari kayu seadanya. Kursi kursi itu sengaja dibuat dalam bentuk yang sederhana.
Disebelah tumpukkan koran ada kalkulator berwarna hitam yang bermerek kanachi dan kaleng bekas biskuit yang sudah mulai pudar warna nya. Kaleng ini digunakan sebagai tempat menaruh Uang receh agar tak berserak. Kaleng tersebut tertutup renggang diatasnyas ada pena berwarna hitam lengkap dengan secarik kertas putih yang bertuliskan angka, sebagai kode tertentu. Dari samping jika di perhatikan dengan seksama maka kelihatan uang uang receh tersebut.
Disebelah meja itu terdapat tempat tambal ban yang hanya disekat oleh dua buah tiang . Tiang tiang terseburt terbuat dari kayu bulat dibagaian bawah kedua tiang ada sekitar dua atau tiga papan sebagai pembatas tempat itu.
Meskipun panas matahari pagi itu cukup terik, namun panasnya tidak menyentuh pasangan suami istri setengah baya ini pada saat mereka duduk di tempat itu. Lapaknya hanya beratap beberapa keping seng yang sudah kelihatan bolong dimakan usia. Sedangkan atap bagian depannya di tambah sepanduk bekas berwarna putih.
Ocu ajo dan mar itulah nama panggilan untuk pasangan suami istri, setengah baya tersebut. Namun ketika ditanya nama lengkapnya dia tidak mau menyebutkan nama sebenarnya. “Panggil aja itu, biasanya orang disini memanggil seperti itu, “ kata Ocu ajo.
Pasangan suami istri setengah baya ini, tipe orang yang suka hidup berpindah-pindah. Delapan tahun yang silam, Ocu ajo panggilan akrab lelaki berkulit gelap ini. Pernah menetap beberapa tahun di ibu kota provinsi Sumatra Utara yakni kota Medan. Disana untuk memenuhi kebutuhan keluarga Ocu ajo berprofesi sebagai pedagang kaki lima yang membuka lapak di pinggir jalan dikota tersebut. Entah apa sebabnya Ocu ajo memutuskan untuk mengadu nasib di kota bertuah Pekanbaru.
“Yang jelas hidup saya tak ada perubahan. Kondisi ekonomi keluaraga kami tak ada kemajuan,” ujar Ocu ajo. Ia pun tak tahu entah apa yang salah dari dirinya. Tapi yang jelas dia telah berusaha untuk mengubah kondisi keluarga nya.
Tepat pada tahun 2005 silam, Ocu ajo memutuskan untuk pindah ke provinsi Riau. Sebelum nya, Ocu ajo memang sudah sering bertandang ke Riau. Bahkan hampir tiap bulan. Jadi sedikit banyaknya Ocu ajo sudah memahami dan bisa membaca peluang kerja yang ada di provinsi Riau kususnya wilayah pekanbaru.
Di kabupaten kampar salah satu kabupaten yang ada di provinsin Riau. Di daerah tersebut Ocu ajo masih memiliki sanak saudara. Dan disanalah dia di lahirkan, hingga saat ini meskuipun telah tinggal dipekanbaru hampir tiap bulannya dia mengunjnungi keuarga dan sanak family yang ada di sana. Namun, saat masih kecil orangtuanya pindah ke Sumatra Barat. Setelah dewasa orang tuanya pun pindah ke Sumatra Utara hingga bertahan sampai tahun 2005 silam.
Dari segi pendidikan pasangan suami istri ini hanya tamatan Sekolah Dasar (SD). Mereka memang tak pernah memilih dan membedakan pekerjaan apa pun. Ukurannya hanya satu yang penting halal dan tak mengganggu ketenangan orang lain. “ Pekerjaan itu yang penting halal. Jangan sampai pekerjaan kita mengganggu orang lain,” ujar Ocu ajo.
Memiliki pekerjaan sebagai agen koran memang bukan pekerjaan ringan setiap hari dia harus bekerja dari jam 5 pagi hingga jam 3 atau jam 4 sore. Sebagai agen koran dia memiliki cara pemasaran yang berbeda dengan agen koran lain. Setiap pagi sebelum shalat subuh dia sudah nongkrong dengan setumpuk korannya, di tempat yang telah ia sediakan. Tempatnya dilihat secara sepintas seperti lapak, yang di gunakan oleh pedagang kaki lima. Disanalah biasanya Ocu ajo dan istrinya menunggu loper koran yang ingin menjajakan koran pagi itu. Dia tak membebankan kepada loper koran untuk habis sekian sekian. “ kami memang tak pernah menargetkan loper koran untu habis dalam jumlah tertentu. “Mereka kami gaji tergantung dari berapa jumlah koran yang habis terjual,” ujar Ocu ajo.
Tiap tiap koran mempunyai harga jual yang berbeda dan untung yang berbeda bagi Ocu ajo dan loper koran lainnya, yang mengambil koran kepadanya.Tribun misalnya jika terjual satu eksampler, loper akan mendapatkan sekitar 800 rupiah. Menurut ajo, penghasilan loper koran yang bekerja dengan dia bervariasi. Tergantung kepiawaian dan kelihaian penjual. Ada loper yang mempunyai penghasilan 30.000 perhari, ada yang 20.000 perhari, bahkan ada yang 15.000 perhari.
Loper koran yang mengampil koran pada Ocu ajo pun bermacam-macam latar belakang . Tapi kebanyakan yang mengambil koran ditempat Ocu ajo adalah remaja yang putus sekolah, rata rata mereka datang dari luar daerah.
Menurut Ocu ajo tak ada kriteria kusus jika ingin menjadi loper koran, atau ingin bekerja dengan dia yang penting harus siap mental. Menurut cerita Ocu ajo, beberapa bulan silam dia pernah di datangi oleh dua orang gadis yang berstatus mahasiswa. Kedatangan kedua gadis tersebut, tak lain tujuannya hanya ingin mencari kerja kepada Ocu ajo. Setelah diterima menjadi loper koran, esok harinya kedua gadis yang yang masih kuliah disalah satu perguruan tinggi di kota pekanbaru tersebut mulai bekerja. Seperti loper koran lainnya. Tepat jam enam pagi, dia sudah datang untuk mengambil sejumlah koran lokal yang ada di lapak Ocu ajo.
Pagi itu, hari pertama bagi kedua gadis tersebut berprofesi sebagai loper koran. Entah itu keberuntungan atau tidak. Meskipun baru pertama menjalani profesi sebagai loper koran, kedua gadis tersebut mendapatkan penghasilan sekitar 20.000, dia bekerja hanya setengah hari kira kira sampai jam 12 siang. Karena menurut pengakuan kedua gadis tersebut pada siang harinya dia harus masuk kuliah sampai sore hari. Sebagai loper koran berpenghasilan 20.000 rupiah dalam waktu setengah hari sudah terbilang besar.
Esok harinya, seperti hari sebelumnya dia juga datang tepat waktu. Namun untuk hari ini ia bekerja hanya sampai jam 9 pagi. Karena pada siang nanti dia ada jam kuliah. “ Pak nanti kami jualan koran hanya sampai jam 9. Jam 10 ada kuliah” ujar Ocu ajo, mencoba meniru perkataan kedua gadis tersebut. Hari kedua ini, mereka hanya mendapatkan penghasilan kurang dari 10.000 perorang. Mungkin di sebabkan karena hari masih pagi, jadi korannya belum banyak laku.
Namun hari berikutnya kedua gadis tersebut tak lagi datang kelapak Ocu ajo untuk menjemput koran tersebut. Kejadian ini bukan hanya kali pertama. “ Aku paham, mungkin gajinya tak terlalu berarti bagi sebagian orang. Mungkin mereka juga ada yang tak kuat, karena gaji rendah atau tak kuat mental. Ha ha... ‘’ ujar Ocu ajo sambil becanda. Kejadian serupa seperti ini sering dialami Ocu ajo sebagai agen koran.
****
Dibawah sinar matahari pagi itu, pria berkulit gelap ini bnercerita panjang lebar tentang kehidupannya sebagai agen koran. Dengan berpenampilan sederhana menggunakan celana tiga perempat. Ocu ajo duduk di lapaknya yang terletak di tepi jalan HR soebrantas. Sambil bercerita pria setengah baya ini melepaskan kedua sandal jepit dari kakinya, lalu ia mengangkat kaki nya sebelah kanan diatas kursi, disebelah pantatanya. Layaknya orang duduk di warung kopi.
Sambil meneguk kopi, ia pun mulai bercerita. Menurut bapak satu anak ini bekerja sebagai agen koran memang sedikit lebih santai dari bekerja sebagai kuli bangunan yang bekerja di bawah terik sinar matahari. Lagi pula, jika di bandingkan dengan resiko, menjadi agen koranpun tak terlalu beresiko. “ Kami hanya modal kepercayaan aja. Peluang untuk rugi itu sedikit. Karena ada sebagaian, bila koran yang diambil tak laku bisa di kembalikan. Setiap harinya Ocu ajo mengambil koran sekitar seribu eksampler. Rata-rata hampir tiap hari koran yang di bawa habis terjual oleh loper sekitar jam 3 atau jam 4 sore.
Tak berapa lama kemudian, ada seorang ibu setengah baya membawakan lontong lengkap dengan gorengan dan segelas teh panas. Ternyata, ibu tersebut penjual lontong langganan Ocu ajo dan istrinya. Mereka telah memesan lontong tersebut beberapa saat yang lalu. Pembicaraan kami sempat terhenti sejenak. Karena Ocu ajo mengobrol sebentar dengan penjual lontong tersebut.
Seperti biasanya, Ocu ajo jika belum sarapan pagi dari rumah, ia sering makan lontong. Maklum, dia jarang sarapan di pagi hari. Karena harus berangkat sekitar jam 5 pagi, supaya koran-koran tersebut dapat diambil lebih cepat oleh loper yang telah berlangganan pada Ocu ajo. Lagi pula menurut Ocu ajo dia sering tidak sarapan pagi.”Kalau sekitar jam 5 itu, selera makan belum ada. Kan belum lapar” kata Ocu ajo.
Kami kembali melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda. Sebelum melanjutjkan perbincangan ia pun menawarkan untuk makan. Lontong tersebut ia tarok diatas meja sederhana yang ada di depannya. Jadi, meja yang tadi berisi koran dan beberapa peralatan lain yang digunakan oleh Ocu ajo untuk berjualan, sekarang sudah bertambah muatannya dengan sepiring lontong lengkap dengan segelas teh panas.
Berprofesi sebagai agen koran menurut Ocu ajo lumayan menguntungkan dan banyak manfaatnya. Yang pasti, mekipun dia bukan seorang pejabat atau PNS. Ocu ajo tetap membaca koran, jadi ia tak pernah ketinggalan informasi. Sebagai agen koran, meskipun tamatan sekolah dasar. Wawasan Ocu ajo cukup luas untuk ukuran masyarakat awam. Hal ini terlihat dari bahasa atau istilah yang di gunakannya.Tak jarang Ocu ajo ketika berkomunikasi melontarkan istilah-istilah ilmiah.
Ini di sebabkan karena tiap hari Ocu ajo membaca berbagai media cetak lokal yang ada di Riau. Bukan hanya itu manfaat yang didapat sebagai agen koran, Sebagai agen koran sedikit banyaknya ia turut meringankan beban negara. Karena ada sekitar belasan loper koran yang bekerja dibawah naungan Ocu ajo.
Sesekali, sambil bebicara mengenai profesi yang di gelutinya. Ia mencoba menikmati lontong yang ada di atas meja sederhana itu. Sambil mengunyah lontong tersebutr. Tangan kanannya mencoba meraih teh hangat yanga ada di sebelah kanan sikunya. Ocu ajo segera meneguk teh hangat itu. Hingga terdengar bunyi tegukan air teh yang masuk ke kekrongkongannya.
Belum selesai Ocu ajo menghabiskan lontong dan teh hangatnya, tiba tiba datang seorang ibu muda berkulit gelap, ia menggendong seorang anak kecil. Kira-kira anak tersebut baru berumur sekitar tiga tahunan. “ Hanya segini lakunya pak. Uangnya ini,” kata wanita tersebut. Wanita tersebut mengatakan untuk hari ini saya bekerja sampai jam segini aja pak..!. Karena dia harus mencuci pakaian tetangganya lagi.
Setelah ngobrol sebentar Ocu ajo memberikan duit kepada wanita tersebut dengan jumlah lima berlas ribu rupiah.Dengan uang pecahan sepuluh ribu dan lima ribu rupiah. Sebenarnya saat itu, untuk waktu istirahat bagi seorang pekerja masih pagi, kira kira saat itu jam 10 pagi.
Namun menurut Ocu ajo ia tak pernah membebankan kepada loper langganannya. “ Ibu itu tadi adalah seorang janda , ia memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai loper koran. Namun kadang- kadang ia dapat orderan mencuci baju dari tetangga,” kata Ocu ajo.
Namun menurut Ocu ajo ia tak pernah membebankan kepada loper langganannya. “ Ibu itu tadi adalah seorang janda , ia memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai loper koran. Namun kadang- kadang ia dapat orderan mencuci baju dari tetangga,” kata Ocu ajo.
Biasanya ibu tersebut bila mendapat orderan mencuci ia bekerja sebagai loper koran hanya sebentar. Sekitar jam 9 atau 10 pagi. Selain ibu rumah tangga banyak juga mahasiswa dan pelajar yang berlangganan dengan Ocu ajop. Menurut Ocu ajo ada satu orang mahasiswa dan satu orang pelajar SMK yang berlangganan denga Ocu ajo, untuk menjadi loper koran. Mereka sekolah dengan biaya mereka sendiri. Anak SMK yang jadi loper denganm Ocu ajo tersebut menurut Ocu ajo mempunyai keinginan untuk sekolah yang kuat. Dia berasal dari golongan ekonomi tidak mampu.
Biasanya menurut Ocu ajo, pelajar dan mahasiswa yang berlanggan menjadi loper koran kepadanya. Mempunyai cara tersendiri untuk menjual koran tersebut. Ada yang menitipkan kekantin, kesekolah, atau kekantor sebelum mereka pergi kesekolah atau ke kampus .
Sebagain agen koran Ocu ajo tak pernah mempermasalahkan hal itu. “ Namun, sore harinya mereka harus menyerahkan kembali berapa koran yang tak laku sekaligus dengan uangnya. Laportan lah, ” canda Ocu ajo.
Tapi hal terpenting yang sangat dirasakan Ocu ajo selain wawasan nya bertambah. Dia juga bisa membuka lapangan pekerjaan. Dan membantu banyak orang yang tak bekerja menjadi bekerja. Namun ketika ditanya berapa penghasilan nya dalam sebulan. Ocu ajo enggan mengatakannya. “ Nanti kamu bisa jadi saingan bapak..!, ha...ha... Yang jelas cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari hari,” canda Ocu ajo. Memang selama ini menurut Ocu ajo berprofesi sebagai Agen koran sering diremehkan oleh banyak orang.######SAAN
Langganan:
Postingan (Atom)