Rabu, 27 November 2013

sejenak di TPA


Sejenak di TPA


Dari kejauhan aroma tak sedap sudah mulai tercium oleh hidungku.Bau amis bercampur asam menyatu menjadi satu. Mungkin karena siang itu angin berhembus agak kencang. Semakin dekat aroma tak sedap itu semakin menusuk hidung.


Disaat yang sama, ratusan orang berkumpul mengelilingi alat berat dan mobil pengangkut sampah itu. 




 Mereka seolah-olah tak peduli dengan keselamatan jiwanya. Disaat alat berat dan mobil pengangkut sampah itu beroperasi. Mereka sibuk memilih dan memilah sampah dan sisa makanan yang dimanfaatkan.

Dengan menggunakan perlengkapan seadanya mereka sibuk dengan aktifitasnya. Persainganpun tak terelakkan. Diantara sesama pemulung tidak ada aturan yang baku. Yang jelas siapa yang cepat itu yang dapat.

Namun anehnya, meskipun jumlah mereka lumayan banyak. Tapi tak ada suara ribut terdengar. Sesekali hanya terdengar suara batuk. Mungkin mereka harus konsentrasi dan teliti dalam memilah sampah.

Atau karena banyak lalat. Maklum TPA tempat yang sangat menjijikankan bagi sebagian orang. Karena segala jenis sampah berkumpul disana. Mulai dari sampah plastik, makanan basi, dan segala jenis sampah sisa rumah tangga.

 Jadi kalau banyak ngomong lalat tersebut bisa masuk kemulut mereka. Atau karena sebagian besar pemulung disana pakai masker. Jadi mulut mereka tertutup. Atau karena mereka sudah terlalu capek siang itu.


Tapi yang jelas hampir lima belas menit sudah kuamati mereka. Tak ada satupun percakapan yang terdengar. Mereka sibuk dengan aktifitas mereka saat itu. Diantara mereka ada yang menggunakan topi. Ada yang membuat tenda seadanya supaya sinar matahari tidak menyengat kulit mereka yang sudah gelap. 

Bahkan ada yang menggunakan celana pendek dan kaos oblong tanpa memakai alas kaki. Padahal, tak tertutup kemungkinan ada pecahan kaca, dan paku yang berserak disana. Tapi mereka tak peduli dengan hal itu.

****

Setelah mengamati aktifitas pemulung tersebut sekitar setengah jam. Aku segera masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) itu, dan berbaur bersama mereka. Pasangan mata yang tadi fokus kesampah, kini sebagian menatap kearahku. 

Aku menyadari hal ini, namun aku berusaha tetap tenang . Aku tahu saat itu penampilanku lumayan keren untuk ukuran pemulung. Tentu mereka melihatku dengan tatapan yang agak aneh. Lagi pula saat itu aku menenteng kamera SLR lengkap dengan tas. 

Baru berjalan beberapa langkah diatas tumpukan sampah tersebut, kakiku terpeleset.
‘' Astagfirullah, untung tidak jatuh ketumpukan sampah tersebut,” gumamku dalam hati.

Ternyata hanya sandal dan celana bagian bawahku yang kotor. Lalat-lalat yang tadinya hinggap dengan tenang, sekarang mereka telah beterbangan kemana-mana. Ditambah lagi bau asam, amis bercampur menjadi satu. Tapi kini aromanya jauh lebih tajam menusuk hidung dan mulutku.

Terus terang sebetulnya saat itu aku sudah mau muntah. Namun di sebelahku, ada seorang pemulung. Untuk menghormati mereka, aku berusaha menahan muntah tersebut. Aku takut jika aku muntah, mereka tersinggung, dan menganggap aku sebagai orang asing lagi.

Di saat yang sama, seorang bapak tua sedang membongkar kardus yang berisi nasi basi. Kalau dilihat sepintas nasi tersebut persis seperti muntah. Baunya jauh lebih tajam dan busuk.

“Ini untuk apa pak..?” ,tanyaku.

“Untuk makan kondik,” jawab pemulung itu.

Di saat yang sama seorang pemulung yang berada di depanku berkata.

“ Kala basi untuk kondik. Kalau bagus kita yang makan,” katanya, sambil menggigit kerupuk yang baru ia temukan di TPA tersebut. 

“Ooo..,” jawabku.

Aku terus berjalan melewati puluhan pemulung. Ditengah keramaiaan pemulung tersebut, mataku tertuju pada seorang anak kecil yang ikut memeulung. Kudekati dia.

“Ooo, ternyata namanya, Putra”

Bersambung...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar