Sejenak di TPA
Dari kejauhan aroma tak sedap sudah mulai tercium oleh
hidungku.Bau amis bercampur asam menyatu menjadi satu. Mungkin karena siang itu
angin berhembus agak kencang. Semakin dekat aroma tak sedap itu semakin menusuk
hidung.
Disaat yang sama, ratusan orang berkumpul mengelilingi alat
berat dan mobil pengangkut sampah itu.
Dengan menggunakan perlengkapan seadanya mereka sibuk dengan
aktifitasnya. Persainganpun tak terelakkan. Diantara sesama pemulung tidak ada
aturan yang baku. Yang jelas siapa yang cepat itu yang dapat.
Namun anehnya, meskipun jumlah mereka lumayan banyak. Tapi
tak ada suara ribut terdengar. Sesekali hanya terdengar suara batuk. Mungkin
mereka harus konsentrasi dan teliti dalam memilah sampah.
Atau karena banyak lalat. Maklum TPA tempat yang sangat
menjijikankan bagi sebagian orang. Karena segala jenis sampah berkumpul disana.
Mulai dari sampah plastik, makanan basi, dan segala jenis sampah sisa rumah
tangga.
Jadi kalau banyak
ngomong lalat tersebut bisa masuk kemulut mereka. Atau karena sebagian besar
pemulung disana pakai masker. Jadi mulut mereka tertutup. Atau karena mereka
sudah terlalu capek siang itu.
Tapi yang jelas hampir lima belas menit sudah kuamati
mereka. Tak ada satupun percakapan yang terdengar. Mereka sibuk dengan
aktifitas mereka saat itu. Diantara mereka ada yang menggunakan topi. Ada yang
membuat tenda seadanya supaya sinar matahari tidak menyengat kulit mereka yang
sudah gelap.
Bahkan ada yang menggunakan celana pendek dan kaos oblong
tanpa memakai alas kaki. Padahal, tak tertutup kemungkinan ada pecahan kaca, dan
paku yang berserak disana. Tapi mereka tak peduli dengan hal itu.
****
Setelah mengamati aktifitas pemulung tersebut sekitar
setengah jam. Aku segera masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) itu, dan
berbaur bersama mereka. Pasangan mata yang tadi fokus kesampah, kini sebagian
menatap kearahku.
Aku menyadari hal ini, namun aku berusaha tetap tenang . Aku
tahu saat itu penampilanku lumayan keren untuk ukuran pemulung. Tentu mereka
melihatku dengan tatapan yang agak aneh. Lagi pula saat itu aku menenteng kamera
SLR lengkap dengan tas.
Baru berjalan beberapa langkah diatas tumpukan sampah
tersebut, kakiku terpeleset.
‘' Astagfirullah, untung tidak jatuh ketumpukan sampah
tersebut,” gumamku dalam hati.
Ternyata hanya sandal dan celana bagian bawahku yang kotor.
Lalat-lalat yang tadinya hinggap dengan tenang, sekarang mereka telah
beterbangan kemana-mana. Ditambah lagi bau asam, amis bercampur menjadi satu.
Tapi kini aromanya jauh lebih tajam menusuk hidung dan mulutku.
Terus terang sebetulnya saat itu aku sudah mau muntah. Namun
di sebelahku, ada seorang pemulung. Untuk menghormati mereka, aku berusaha
menahan muntah tersebut. Aku takut jika aku muntah, mereka tersinggung, dan
menganggap aku sebagai orang asing lagi.
Di saat yang sama, seorang bapak tua sedang membongkar
kardus yang berisi nasi basi. Kalau dilihat sepintas nasi tersebut persis
seperti muntah. Baunya jauh lebih tajam dan busuk.
“Ini untuk apa pak..?” ,tanyaku.
“Untuk makan kondik,”
jawab pemulung itu.
Di saat yang sama seorang pemulung yang berada di depanku
berkata.
“ Kala basi untuk kondik.
Kalau bagus kita yang makan,” katanya, sambil menggigit kerupuk yang baru ia
temukan di TPA tersebut.
“Ooo..,” jawabku.
Aku terus berjalan melewati puluhan pemulung. Ditengah
keramaiaan pemulung tersebut, mataku tertuju pada seorang anak kecil yang ikut
memeulung. Kudekati dia.
“Ooo, ternyata namanya, Putra”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar