Senin, 20 Januari 2014

'KESADARAN PALSU'

            
Aku pernah berpikir tentang kondisi bangsa indonesia, tempo dulu, saat ini dan akan datang. Ada hal yang sering mengganjal dibenak ini, aneh memang ketika hal itu aku sampaikan di forum diskusi. 

Tapi tak masalah aneh atau tidak pemikiran ku saat ini. Yang jelas, tak ada niat buruk terbesit dalam hati dan pikiran. Baik atau buruk, kontroversi atau tidak, itu adalah konsekuensi yang harus diterima ketika kita ingin menyampaikan sebuah pemikiran. 

Aku sering katakan kepada kawan-kawan dalam diskusi ringan atau hanya sekedar ngumpul,“Kita terjebak pada kesdaran palsu,’’.Reaksi yang kuterima, tentu bermacam-macam. Ada yang mendebat, ada yang setuju atau hanya sekedar senyum kecil sebagai tanda cemeeh.


Aku teringat stanup komedy yang disampaikan oleh Panji pragiwaksono, Ia mengatakan bangsa kita bangsa yang lebih mengutamakan pencitraan, penampilan, makanya bangsa kita seperti ini. Dengan ciri khasnya, pesan tersebut dia sampaikan dengan ringan dan menarik serta menghibur. Memang kalau kita dengar selintas, ini hanya sebuah guyonan. Hanya sebuah hiburan yang bertujuan untuk menghibur penonton yang hadir saat itu,.

Tapi bagi sebagaian orang, termasuk aku ini semua pesan yang sangat berarti. Disadari atau tidak, percaya atau tidak..!!. Saat ini budaya kesadaran palsu sering kita jumpai. Entah itu oleh pejabat, Eksekutif atau Legislatif. Atau oleh masyrakat kampus yang notabentnya insant akademis (Mahasiswa /Dosen). Saat ini aku berpikir ‘kesadaran’ palsu seolah-olah wabah penyakit yang terus menular tanpa ada yang peduli apalagi turun untuk mengobati dan mencari solusi.

Kesadaran palsu menurutku tak ubah bak penjilat yang hanya mencari muka, yang mereka kejar hanya pencitraan. Tapi aneh, tak semua orang menyadari ‘wabah ini’. Agar kesadaran palsu ini lebih mudah di terima oleh pembaca sekalian, aku akan memberikan beberapa contoh, baik itu yang dilakukan oleh president kita SBY ataupun yang dilakukan oleh kita sendiri sebagai masyarakat akademis ( Mahasiswa / Dosen).

Tahun 2013 silam tepatnya pada bulan Oktober, SBY memperingati hari ketahanan pangan nasional di Sumatra Barat. Acara tersebut di buat semeriah mungkin, dijadikan event sekala nasional, Gubernur- gubernur dan beberapa pejabat teras dinegri ini turut hadir. dilakukan persiapan yang ekstra. Menghabiskan dana milyaran rupiah bahkan mungkin triliunan, pasukan pengaman di turunkan untuk mengamankan acara yang bersifat serimonial tersebut. Di saat itu SBY perpidato panjang lebar dalam acara tersebut. Intinya Sebagai president Republik Indonesia SBY menginginkan Indonesia menjadi daerah penghasil pangan. Tidak lagi bergantung pada negara lain.

Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, keinginan dan niat SBY ini harus kita suport karena punya wacana yang baik terhadap bangsa ini kedepannya. Namun sebagai orang bijak, kita perlu mengkritisi hari ketahanan pangan nasional ini. Pertama, SBY menginginkan Indonesia menjadi negara yang mandiri. Tak lagi sebagai pengimport makanan, pada hal bumi kita ‘’Tanah Surga,’’ katanya. Tapi anehnya, diera pemerintahan  SBY ada berapa persent bumi kita ini yang diambil alih oleh perusahaan Raksasa, entah itu dijadikan Hutan Tanaman Indusri (HTI) atau perkebunan Kelapa sawit atau menjadi lahan pertambanagan..?

Bumi yang dulunya milik hutan wilayat, tempat masyarakat desa bercocok tanam untuk menyambung hidup. Namun  hari ini, dirampas oleh perusahaan raksasa tersebut..!!
Coba pembaca sebutkan satu saja, apakah ada masyarakat tempatan yang sejahtera / mandiri, ketika perusahaan tersebut masuk kewilayah mereka..?

Yang ada hanya pertikaian, perampasan, pembunuhan, pembantaian. Contohnya, konflik pulau padang, konflik bengkulu, konflik jambi, konflik di kalimantan. Ini semua salah satu bentuk pertikaian / konflik antara perusahaan raksasa dengan masyarakat lokal. 

Kalau kita cari hulu dari masalah ini siapa penyebabnya..? Menurut saya pemerintah. Kenapa...!! karena, mustahil perusahaaan –perusahaan tersebut bisa beroperasi tanpa izin dari pemerintah. Jadi, dengan kata lain pemerintah telah memberikan izin kepada pemilik modal  untuk mengelola sekian persent dari bumi kita. Hutan yang dulunya masih lebat sekarang makin gundul, yang lebih aneh. Masak hutan alam yang masih perawan dijadiakan HTI. Seharusnya, kalau mau buat HTI, ia ditempat gersang, atau daerah yang kurang susbur. Baru kalau seperti ini ada pembangunan dan perkembangan kearah yang positif.

Sawah dan kebun masyarakat yang dulunya hijau terhampar luas, kini sebagian besar telah di kuasai oleh perusahaan Raksasa. Bumi-bumi di tempok, laut kita yang dulunya kaya dan bersih kini telah dicemari oleh limbah-limbah perusahaan Raksasa. 

Inikan aneh, disatu sisi pemerintah kita seolah-olah mendoakan kehancuran alam indonesia. Dengan aksinyata mereka, memberikan izin perusahaan raksasa sebanyak-banyaknya. Tanpa kontrol yang kuat dan tepat dari pemerintah. Namun, Tahun 2013 silam tepatnya pada bulan Oktober. SBY beretorika tentang ketahanan pangan nasional. Seolah-olah pada saat itu semua orang yang mendengar pidato SBY menilai Ia telah berbuat untuk masyarakat dan pro masyarakat. Betul secara lisan SBY pro masyarakat. Tapi kebijakan memberi izin kepada perusahaaan raksasa tanpa kontrol yang tepat. Apakah ini pro rakyat. Seolah-olah perbuatan dan lisan SBY berbeda jauh.

 Bukan hanya SBY semua orang yang hadir di situ merasa telah berbuat untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Seolah-olah mereka telah berbuat yang mulia dan besar kepada negara tercinta ini. Mereka berpikir untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional telah selesai dengan serimonial tersebut, tanpa aksi nyata. Itu salah satu contoh kecil di Negara kita tercinta ini.

Kalau di UIN Suska tak sulit bagi kita untuk menemukan hal semacam ini. Bahkan ‘kesadaran palsu’ sudah menjadi budaya akademis, yang akan terus diwarisi dari generasi kegenerasi. Contohnya, baru-baru ini. Dialog kebangsaan misalnya. Atau bahkan acara seminaria yang sering dilakukan oleh organisasi internal kampus.

Dalam acara tersebut Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang dinahodai oleh Saidan, mendatangkan pembicara tokoh skala nasional. Entah itu, akabar Tanjung dan sebagainya mereka datangkan ke UIN Suska. Berapa banayak, tenaga, dana yang habis untuk kegiatan tersebut. Tapi coba kita berpikir secara logis, apa sih manfaat kegiatan tersebut bagi mahasiswa?

Apasih tindak lanjut dari kegiatan tersebut?. Apakah BEM sudah merasa puas dengan kegiatan tersebut. Seolah-olah semua panitia yang terlibat saat itu, telah melakukan hal besar terhadap UIN Suska. Namun disaat yang bersamaaan ada sekelompok mahasiswa yang menentang kegiatan tersebut. Mereka menilai kegiatan tersebut serat dengan politik praktis.


 Inilah ‘kesadaran palsu’ seolah-olah aktif atau tidaknya sebuah organisasi internal kampus dinilai dari berapa banyak organisasi tersebut melakukan seminar. Pada hal seminar itu Cuma bersifat serimonial, hampir sebagian besar peserta seminar tujuannya tak lebih hanya mencari sertifikat. Inilah realita kampus kita saat ini.

Untuk itu saya sarankan, bagi sebagian fakultas yang mewajibkan mahasiswa punya seminar itu perlu di pertimbangkan kemabli. Bahkan, ada yang memperjual belikan sertifikat, seolah-olah sertifikat dijadikan lahan bisnis. Perlu dipertanyakan hal ini?. Hanya perlu membayar dengan duit, selesai seminar sertifikat dapat tanpa harus hadir diacara tersebut.

Namun aneh, semua panitia yang terlibat pada acara tersebut mereka merasa telah melakukan perubahan besar. Pada hal, hanya seminaria yang tak bermanfaat. Saya ingin katakan tak selamanya  atau tidak seharusnya organisasi terjebak pada seminaria dan kegiatan serimonial.