Aku pernah berpikir tentang kondisi bangsa indonesia, tempo
dulu, saat ini dan akan datang. Ada hal yang sering mengganjal dibenak ini,
aneh memang ketika hal itu aku sampaikan di forum diskusi.
Tapi tak masalah
aneh atau tidak pemikiran ku saat ini. Yang jelas, tak ada niat buruk terbesit
dalam hati dan pikiran. Baik atau buruk, kontroversi atau tidak, itu adalah
konsekuensi yang harus diterima ketika kita ingin menyampaikan sebuah
pemikiran.
Aku sering katakan kepada kawan-kawan dalam diskusi ringan atau
hanya sekedar ngumpul,“Kita terjebak pada kesdaran palsu,’’.Reaksi yang
kuterima, tentu bermacam-macam. Ada yang mendebat, ada yang setuju atau hanya
sekedar senyum kecil sebagai tanda cemeeh.
Aku teringat stanup
komedy yang disampaikan oleh Panji pragiwaksono, Ia mengatakan bangsa kita
bangsa yang lebih mengutamakan pencitraan, penampilan, makanya bangsa kita
seperti ini. Dengan ciri khasnya, pesan tersebut dia sampaikan dengan ringan
dan menarik serta menghibur. Memang kalau kita dengar selintas, ini hanya
sebuah guyonan. Hanya sebuah hiburan yang bertujuan untuk menghibur penonton
yang hadir saat itu,.
Tapi bagi sebagaian orang, termasuk aku ini semua pesan yang
sangat berarti. Disadari atau tidak, percaya atau tidak..!!. Saat ini budaya
kesadaran palsu sering kita jumpai. Entah itu oleh pejabat, Eksekutif atau
Legislatif. Atau oleh masyrakat kampus yang notabentnya
insant akademis (Mahasiswa /Dosen). Saat ini aku berpikir ‘kesadaran’ palsu
seolah-olah wabah penyakit yang terus menular tanpa ada yang peduli apalagi turun
untuk mengobati dan mencari solusi.
Kesadaran palsu menurutku tak ubah bak penjilat yang hanya mencari muka, yang mereka kejar hanya
pencitraan. Tapi aneh, tak semua orang menyadari ‘wabah ini’. Agar kesadaran palsu
ini lebih mudah di terima oleh pembaca sekalian, aku akan memberikan beberapa
contoh, baik itu yang dilakukan oleh president kita SBY ataupun yang dilakukan
oleh kita sendiri sebagai masyarakat akademis ( Mahasiswa / Dosen).
Tahun 2013 silam tepatnya pada bulan Oktober, SBY
memperingati hari ketahanan pangan nasional di Sumatra Barat. Acara tersebut di
buat semeriah mungkin, dijadikan event
sekala nasional, Gubernur- gubernur dan beberapa pejabat teras dinegri ini
turut hadir. dilakukan persiapan yang ekstra. Menghabiskan dana milyaran rupiah
bahkan mungkin triliunan, pasukan pengaman di turunkan untuk mengamankan acara
yang bersifat serimonial tersebut. Di saat itu SBY perpidato panjang lebar
dalam acara tersebut. Intinya Sebagai president Republik Indonesia SBY
menginginkan Indonesia menjadi daerah penghasil pangan. Tidak lagi bergantung
pada negara lain.
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, keinginan dan niat
SBY ini harus kita suport karena punya wacana yang baik terhadap bangsa ini
kedepannya. Namun sebagai orang bijak, kita perlu mengkritisi hari ketahanan
pangan nasional ini. Pertama, SBY menginginkan Indonesia menjadi negara yang
mandiri. Tak lagi sebagai pengimport makanan, pada hal bumi kita ‘’Tanah
Surga,’’ katanya. Tapi anehnya, diera pemerintahan SBY ada berapa persent bumi kita ini yang
diambil alih oleh perusahaan Raksasa, entah itu dijadikan Hutan Tanaman Indusri
(HTI) atau perkebunan Kelapa sawit atau menjadi lahan pertambanagan..?
Bumi yang dulunya milik hutan wilayat, tempat masyarakat
desa bercocok tanam untuk menyambung hidup. Namun hari ini, dirampas oleh perusahaan raksasa
tersebut..!!
Coba pembaca sebutkan satu saja, apakah ada masyarakat
tempatan yang sejahtera / mandiri, ketika perusahaan tersebut masuk kewilayah
mereka..?
Yang ada hanya pertikaian, perampasan, pembunuhan,
pembantaian. Contohnya, konflik pulau padang, konflik bengkulu, konflik jambi,
konflik di kalimantan. Ini semua salah satu bentuk pertikaian / konflik antara
perusahaan raksasa dengan masyarakat lokal.
Kalau kita cari hulu dari masalah ini siapa penyebabnya..?
Menurut saya pemerintah. Kenapa...!! karena, mustahil perusahaaan –perusahaan
tersebut bisa beroperasi tanpa izin dari pemerintah. Jadi, dengan kata lain
pemerintah telah memberikan izin kepada pemilik modal untuk mengelola sekian persent dari bumi
kita. Hutan yang dulunya masih lebat sekarang makin gundul, yang lebih aneh.
Masak hutan alam yang masih perawan dijadiakan HTI. Seharusnya, kalau mau buat
HTI, ia ditempat gersang, atau daerah yang kurang susbur. Baru kalau seperti
ini ada pembangunan dan perkembangan kearah yang positif.
Sawah dan kebun masyarakat yang dulunya hijau terhampar
luas, kini sebagian besar telah di kuasai oleh perusahaan Raksasa. Bumi-bumi di
tempok, laut kita yang dulunya kaya dan bersih kini telah dicemari oleh
limbah-limbah perusahaan Raksasa.
Inikan aneh, disatu sisi pemerintah kita seolah-olah
mendoakan kehancuran alam indonesia. Dengan aksinyata mereka, memberikan izin
perusahaan raksasa sebanyak-banyaknya. Tanpa kontrol yang kuat dan tepat dari
pemerintah. Namun, Tahun 2013 silam tepatnya pada bulan Oktober. SBY beretorika
tentang ketahanan pangan nasional. Seolah-olah pada saat itu semua orang yang mendengar
pidato SBY menilai Ia telah berbuat untuk masyarakat dan pro masyarakat. Betul
secara lisan SBY pro masyarakat. Tapi kebijakan memberi izin kepada perusahaaan
raksasa tanpa kontrol yang tepat. Apakah ini pro rakyat. Seolah-olah perbuatan
dan lisan SBY berbeda jauh.
Bukan hanya SBY semua orang yang hadir di situ
merasa telah berbuat untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Seolah-olah
mereka telah berbuat yang mulia dan besar kepada negara tercinta ini. Mereka
berpikir untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional telah selesai dengan
serimonial tersebut, tanpa aksi nyata. Itu salah satu contoh kecil di Negara
kita tercinta ini.
Kalau di UIN Suska tak sulit bagi kita untuk menemukan hal
semacam ini. Bahkan ‘kesadaran palsu’ sudah menjadi budaya akademis, yang akan
terus diwarisi dari generasi kegenerasi. Contohnya, baru-baru ini. Dialog
kebangsaan misalnya. Atau bahkan acara seminaria yang sering dilakukan oleh
organisasi internal kampus.
Dalam acara tersebut Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang
dinahodai oleh Saidan, mendatangkan pembicara tokoh skala nasional. Entah itu,
akabar Tanjung dan sebagainya mereka datangkan ke UIN Suska. Berapa banayak,
tenaga, dana yang habis untuk kegiatan tersebut. Tapi coba kita berpikir secara
logis, apa sih manfaat kegiatan tersebut bagi mahasiswa?
Apasih tindak lanjut dari kegiatan tersebut?. Apakah BEM sudah
merasa puas dengan kegiatan tersebut. Seolah-olah semua panitia yang terlibat
saat itu, telah melakukan hal besar terhadap UIN Suska. Namun disaat yang
bersamaaan ada sekelompok mahasiswa yang menentang kegiatan tersebut. Mereka
menilai kegiatan tersebut serat dengan politik praktis.
Inilah ‘kesadaran
palsu’ seolah-olah aktif atau tidaknya sebuah organisasi internal kampus
dinilai dari berapa banyak organisasi tersebut melakukan seminar. Pada hal
seminar itu Cuma bersifat serimonial, hampir sebagian besar peserta seminar
tujuannya tak lebih hanya mencari sertifikat. Inilah realita kampus kita saat
ini.
Untuk itu saya sarankan, bagi sebagian fakultas yang
mewajibkan mahasiswa punya seminar itu perlu di pertimbangkan kemabli. Bahkan,
ada yang memperjual belikan sertifikat, seolah-olah sertifikat dijadikan lahan
bisnis. Perlu dipertanyakan hal ini?. Hanya perlu membayar dengan duit, selesai
seminar sertifikat dapat tanpa harus hadir diacara tersebut.
Namun aneh, semua panitia yang terlibat pada acara tersebut mereka merasa telah
melakukan perubahan besar. Pada hal, hanya seminaria yang tak bermanfaat. Saya
ingin katakan tak selamanya
atau tidak
seharusnya organisasi terjebak pada seminaria dan kegiatan serimonial.