Rabu, 26 Februari 2014

Tradisi bergambus talang mamak kian punah







Anak cicak dibawah bantalAnak cicak dibawah bantal


Entah bajari entahkan tidakEntah bajari entahkan tidak


Kalau tapijak kasungai gangsalKalau tapijak kasungai gangsal


Entahkan balik entahkan tidakEntahkan balik entahkan tidak”

Gambus 


Itulah cuplikan syair yang nyanyikan oleh Tatung, panggilan akrab pria setengah baya bernama Syafaruddin .Pria kelahiran 1962 ini terlihat masih enerjik. Ditemani teh hangat yang masih berasap dan sebungkus rokok berwarna merah bermerek Niko. Pagi itu jari-jari lincah tatung memetik dawai gambus tersebut dengan lihai. Syairnya khas masyarakat Rantau langsat,  enak didengar ketika UIN Suska Mengajar (USM) jilid II bertamu kerumah tatung.


Sesekali sambil menikmati teh hangat yang masih berasap, terkadang tatung menghembuskan asap rokok dari mulut atau hidungnya. Kepulan asap rokok tersebut berlalu dibawa angin yang berhembus dari pintu depan rumah Tatung , pagi itu.

Jari-jari tatung terlihat lihai dan lincah, Cincin akik dari batu lumut terlihat jelas berwarna hijau mengkilat di jari kirinya.Batu lumut tersebut menurut masyarakat Rantau Langsat adalah batu alam yang ada didasar sungai Gangsal, namun sulit untuk ditemukan. “ Mungkin kalau di lautan namanya mutiara,” ujar Tatung. Warnanya hijau lumut, namun sedikit bercahaya. Jika terus digosok maka bentuk dan warnanya akan semakin bagus.

  Tidak ada rumus atau kunci kusus dalam bermain Gambus, lain hal nya dengan gitar atau alat musik lain.Hanya perasaan yang di gunakan. Menurut tatung alat musik gambus ini sudah ada di Desa Rantau langsat sejak lama. Telah diwarisi dari generasi kegenerasi, tak tahu siapa orang pertama yang menciptakan atau yang membawa Gambus kedesa rantau langsat. 



M Nasir, tokoh masyarakat


Tapi menurut M Nasir salah satu tokoh masyarakat yang kami jumpai, mengatakan gambus erat kaitannya dengan sejarah masuknya islam kedesa Rantau langsat dan ;perang paderi. Namun, ia tak tahu persis seperti apa cerita tersebut.



Saat Tatung bersyair, terdengar khas syair melayu daratan, diiringi musik gambus, sepintas bunyi dawai yang dipetik tatung tersebut mengeluarkan bunyi ala musik timur tengah. 


Hal unik Gambus Desa Rantau langsat tetap mempertahankan sisi tradisonalnya. Meskipun saat ini senar gitar sudah mudah ditemukan di Desa rantau langsat, namun masyarakat sana tetap mempertahankan tali pancing sebagai senar. Lirik syairnya pun khas, biasanya berisi pantun. Ada banyak syair yang paling dikenal oleh masyarakat Rantau Langsat, seperti biduk-biduk, anak ayam. Biasanya syair-syair yang dinyanyikan jika diiringi oleh Gambus biasanya dinyanyikan dengan cepat.   


Inilah hal unik dari dari Gambus masyarakat desa Rantau Langsat, salah satu desa yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, saat ini tak banyak lagi masyarakat Rantau langsat yang bisa bermain Gambus. Hanya orang-orang tertentu, sebagian besar mereka yang paham bergambus adalah orang tua.


Jika dilihat dari bahan pembuatan, tidak semua kayu bisa dijadikan Gambus. Karena jenis kayu menentukan kualitas suara Gambus tersebut. Biasanya, masyarakat rantau langsat yang berada di tepi sungai Gangsal membuat Gambus dari kayu Pulai, kapas hutan, Lapis kulit. Tapi menurut tradisi nenek moyang mereka akan lebih bagus lagi jika kayu tersebut ditemukan dalam keadaan patah oleh angin ribut.


Bila dilihat dari jumlah dawainya Gambus masyarakat desa Rantau langsat mempunyai banyak jenis. Mulai dari dawai yang rumit hingga dawai yang sederhana. Ada yang berjumlah 3,6,7,12 dawai. Semakin banyak jumlah dawai semakin rumit dan susah dalam memainkannya. Dawai 12 misalnya, saat ini di Desa Rantau langsat sulit untuk menemukan siapa yang bisa memainkannya. Kebanyakan saat ini yang sering dipakai dan dimainkan masyarakat adalah Gambus berdawai 3 dan 6.


Tradisi bergambus masyarakat Talang mamak yang berada di tepi sungai Gangsal biasanya dimainkan dalam upacara tertentu. Biasanya malam menugal, hiburan masyarakat seperti acara pernikahan.Malam manugal adalah malam sebelum menanam padi di sawah. Disebut manugal karena pada saat itu masyarakat Talang Mamak menanam padi. Menggunakan bantuan kayu runcing. Kayu tersebut ditancapkan ketanah lalu biji padinya dimasukkan kelobang tersebut. 


Kayu yang ditancapkan ketanah dalam bahasa masyarakat sana disebut menugal.  Biasanya musik Gambus ini disandingkan dengan tarian zapin. Namun bagi pemuda Rantau langsat tempo dulu, Gambus merupakan life style .


Menurut cerita M Nasir salah satu tokoh masyarakat Desa Raantau Langsat, bagi pemuda tempo dulu. Selain tradisi, Gambus merupakan sebuah kebanggaan. Pemuda dan pemudi saat itu sangat menghargai orang- orang yang bisa bergambus. Makanya tak heran orang zaman dulu, banyak yang Pandai memainkan alat musik Gambus. Mulai dari Gambus yang mudah hingga Gambus yang terumit, mulai dari Gambus yang berukuran kecil sedang dan besar.



Selain ditentukan oleh bahannya, ukuran Gambus juga menentukan suara Gambus tersebut. Semakin kecil Gambusnya maka semakin nyaring bunyi yang dihasilkan oleh Gambus tersebut. Biar lebih terlihat menarik biasanya Gambus-gambus tersebut di poles dengan Getah Jernang. Jernang salah satu jenis rotan yang ada di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ( TNBT), Indragiri HuluJernang pada saat sekarang sulit ditemukan. Karena Rotan jenis ini, memiliki harga ekonomi yang cukup tinggi. Satu kilo gram getah jernang harganya bisa mencapai dua jutaan.





Makanya, tak heran sebagian besar masyarakat Talang Mamak bergantung hidup pada alam, baik itu didarat/ hutan maupun di sepanjanhg sungai gangsal. Ada yang mencari jernang, menjerat dan sebagainya. Namun, ada sebagian masyarakat yang tinggal tinggal di tepi Sungai Gangsal kerjanya meneres karet, seperti masyarakat dusun lemang, tualang dan siamang. 


Karet-karet tersebut akan di jual pada pengepul sebulan sekali. Uang-uang tersebut digunakan untuk memebeli kebutuhan sehari-hari. Bagi masyarakat Talang Mamak yang masih jauh dari dunia modren, seperti dusun Nunusan, Datai dan Sadan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti beras mereka berladang. Jika ada waktu luang mereka akan menangkap ikan disungai dengan cara tradisional. Entah itu dengan Tekalak, Lukah atau menembak ikan dengan cara menyelam.



 Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya. Tradisi bergambus semakin hilang. Generasi penerus untuk bergambuspun sulit ditemukan. Ketika USM beberapa minggu berada di Desa Rantau Langsat, tak ada bertemu dengan generasi muda yang bisa bergambus.


Kebanyakan mereka adalah orang-orang tua. Menurut  Nasir. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perkembangan teknologi. Anak-anak muda rantau langsat sudah punya hiburan lain. Entah itu bermain gitar, mendengar radio, atau menonton TV. Apalagi sebagian dusun yang ada di desa Rantau Langsat, seperti dusun Lemang, Pebidaian, siamang. Masyarakatnya sudah mulai mengikuti dunia luar. Ditiga dusun tersebut, sebagian kecil rumah masyarakat sudah memiliki TV. Bahkan rumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, seperti rumah masyarakat Talang Mamak pada tempo dulu.




Namun, untuk dusun Datai, Nunusan, dan Suit masyarakatnya masih bersifat tradisional. Rumahnya, terbuat dari kulit kayu, atapnya pun masih dari daun kayu yang diambil dari hutan. Daun kayu tersebut mereka anyam sehingga jadilah atap. Meskipun, masyarakat Talang Mamak yang berada di Dusun Datai, Suit, dan Nunusan masih sulit dijangkau dunia luar. Rumah masyarakat sebagian besar masih dari kulit kayu. Namun sulit untuk menemukan orang yang bisa bergambus. Lain halnya, dengan Nasir tokoh masyarakat Rantau Langsat. Meskipun sudah berusia setengah baya, ia tetap bermain Gambus. Kadang ia meluangkan waktu satu hingga dua jam sehari, hanya untuk bermain Gambus.


                                                                                                                                 








1 komentar:

  1. semoga lahir kembali orang seperti pak Nasir yg melestarikan gambus di desa Rantau Lansat tercinta ^_^

    BalasHapus